''GONJANG GANJING'' SPIRITUALITAS
Ketika banyak terjadi orang muda yang tidak lagi mau diatur dalam berkeyakinan, maka muncul pula pertentangan antara orang tua dengan anak-anaknya.
Orang tua yang masih berpandangan bahwa hidup keagamaan harus dibuktikan dengan ritual, tidak bisa memahami apa yang dilakukan orang muda yang meninggalkan aspek ritual. Kaum muda mulai beralih dalam kehidupan nyata dalam ''menyembah'' dan beritual. Mereka beranggapan ritual sebagai tindakan rutinitas yang membosankan dan tidak berdampak langsung pada orang lain. Padahal menurun dogma dan doktrin, ritual dari suatu keyakinan adalah wujud penyembahan, persembahan, permohonan dan syukur kepada 'Tuhan'. Tetapi bagi orang muda bahwa hal itu penting, tetapi tidak harus dilakukan. Menurut orang muda ada yang lebih penting dari ritual, yakni bertemu dengan yang disembah, dipuja dalam kehidupan nyata, karena yang disembah atau dipuja tidak duduk di singgasana 'surga' seperti yang selama ini digambarkan, tetapi berada dan ada di dalam diri pribadi setiap manusia dan isi alam semesta. Manusia adalah bentuk nyata dari pikiran, hati mata, hidung, mulut, telinga, tangan dan kaki dari yang disembah. Sehingga manusia wajib menjadikan sebagai alat yang disembah untuk bertindak nyata di dunia ini.
Pemahaman ini membuat orang generasi tua menjadi bingung dan tidak paham akan cara pikir dan cara berkeyakinan orang muda. Mereka menjadi kawatir orang muda akan meninggalkan keyakinan dan hidup sebagai manusia atheis, yang dianggap tidak bertuhan atau hidup dengan gaya berkeyakinan yang mereka tidak pahami. Kondisi ini bisa membuat 'gonjang ganjing" dalam kehidupan keluarga yang keluar dari tradisi yang selama ini dijalani semenjak nenek moyang. Ada goncangan yang dibuat oleh anak muda millenial dan gen Z yang membingungkan generasi tua. Apabila tidak ada saling memahami satu dengan yang lain, maka 'gonjang-ganjing' spiritual dalam keluarga ini akan menimbulkan gesekan yang sebenarnya tidak perlu. Selain itu, juga akan muncul kelompok pengkaji spiritualitas di kalangan orang muda dengan media sosial sebagai perekatnya. Tidak bisa dipungkiri media sosial dengan arus informasi yang luar biasa deras akan menjungkir balikkan penganut dogma dan indokteinasi.
Zaman telah berubah dan orang tidak dapat melawan ilmu, karena ilmu pengetahuan teknologi dan artificial intelligence terus berkembang. Semua informasi begitu terbuka, tidak dapat disembunyikan lagi, manusia muda semakin cerdas dan kritis, tidak bisa menerima begitu saja dogma dan doktrin, mereka akan mencari di berbagai sumber informasi. Apalagi kalau doktrin berdasarkan mimpi, penglihatan dan hal gaib lainnya, manusia muda akan berpikir ulang untuk percaya. Bukan karena mereka melawan generasi tua yang masih mudah dijejali dengan cerita narasi mimpi dsb, tetapi mereka dunianya sudah berbeda. Mereka akan berbicara atau berdiskusi berdasarkan data, bukan pengalaman yang diceritakan dari mulut ke mulut, tanpa disertai data atau bukti.
Zaman dulu orang sudah di takut takuti dengan dunia hantu, sehingga dalam memori mereka sudah ada hal-hal yang di luar nalar atau hal gaib, sehingga ketika dewasa mereka mendapat cerita yang gaib tidak nalar menjadi percaya. Anak sekarang sejak kecil sudah bersentuhan dengan permainan ya mengasah otak untuk berpikir kritis, belum lagi perkembangan informasi yang menyangkut ilmu pengetahuan yang mudah di dapat. Anak sekarang tidak lagi ditakuti dengan hantu, karena orang tua sudah belajar psikologi, bahwa menakuti anak akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan lainnya. Orang tua mengajarkan hal yang realistis, kalaupun mengajarkan keyakinan, tidak lagi dogmatis dan indokteinasi. Beda model pendampingan dan pendidikan anak dulu dan sekarang. Juga kondisi lingkungan sudah lain, jadi hal ini harus dipahami oleh generasi tua.
Di sisi lain pemahanan tentang kehidupan sudah berbeda. Anak muda memahami hidup ini di sini, saat ini dan seperti ini, bukan masa lalu atau masa mendatang. Dalam realitas ini lah manusia hidup, akan bagaimana realitas ini dibuat agar menjadi nyaman. Kalau dulu orang ditakuti untuk tidak merambah daerah tertentu yang jadi wilayah penyangga air, dikatakan karena daerah itu 'pemali' atau angker, atau nanti kualat, padahal maksud sebenarnya adalah untuk melestarikan lingkungan. Sekarang tidak lagi ditakut takuti, tetapi diajak berpikir pakai logika, bahwa wilayah tersebut harus dijaga karena menjadi sumber air bagi desa, kalau tanamannya ditebang, maka air akan tidak tertahan. Banyak hal yang dulu tidak dijelaskan, hanya dilarang, sekarang dijelaskan kenapa dilarang. Hal ini karena anak sendiri sudah mulai berpikir kritis.
Latar bekakang yang sudah berbeda sesuai perkembangan zaman, menjadikan munculnya 'gonjang-ganjing spiritual. Tetapi itu lah kemajuan evolusi manusia, yang akan terus berkembang menyesuaikan zamannya. Tingkat kesadaran dalam berkeyakinan semakin realistis, dengan tindakan nyata. Anak muda sudah tidak suka mendengar ceramah-ceramah yang dogmatis dan indokteinasi. Mereka akan mencari di internet hal-hal yang menjadi fenomena, atau sesuatu yang belum ada jawaban atau belum ditemukan dalam ilmu pengetahuan masa lalu. Manusia muda lebih aktif, tidak mau dijejali dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Dunia audah berubah maju, demikian pula cara berkeyakinan manusia, mereka yang muda lebih mencari makna, tujuan hidup atau spiritualitas.
Sebagai generasi tua sudah seharusnya mulai berubah pula cara berpikirnya, dengan mengikuti tanda-tanda zaman. Wariskan kepada generasi muda cara berpikir kritis, terbuka dan berdasar data, dengan kedepankan dialog. Mendidik manusia muda agar bermoral, disiplin, bertanggungjawab, mandiri, solider, toleran, santun, menghargai dan menghormati orang lain dan melestarikan alam lingkungan, tidak lagi dengan dogma dan indokteinasi. Mereka perlu dilatih memiliki kemampuan dan karakter seperti itu, bukan hanya dengan teori namun dengan tindakan nyata dan sederhana. Latih mereka sejak dini dengan hal sederhana, seperti antri, membuang sampah pada tempatnya, meletakkan barang pada tempatnya, menjaga kerapian, menaati rambu lalu lintas, makan sendiri, memakai sendiri baju dan kelengkapannya, menjaga barang pribadi, tidak mengambil milik orang, menghargai perbedaan, membantu yang kesulitan, permainan kerjasama, menghormati yang lebih tua, membersihkan lingkungan dan latihan-latihan sederhana yang dilakukan di keluarga, sekokah maupun lingkungan.
Ini lah yang diperlukan dalam kehidupan, bukan menakuti dengan surga dan neraka lagi.
Dengan demikian 'gonjang ganjing' spiritual tidak terjadi, karena kita dampingi anak dalam menemukan dirinya, tidak dengan doktrin, tetapi dengan membuka wawasan dalam suatu dialog. Biarlah anak-anak menilai dan menemukan sendiri apa yang menjadi pilihan jalan hidupnya. Orang tua hanya memberi rambu-rambu dan sebab akibatnya, sehingga mereka bertanggung jawab dengan diri dan pilihannya. Keterbukaan dan dialog ini memang tidak mudah, karena 'mndset' generasi tua sudah 'disetting' oleh lingkungan pada zamannya. Hanya mereka yang mampu keluar dari pikiran masa lalu yang telah membentuknya, yang akan mampu memahami situasi ini, sehingga tidak lagi kaget dengan situasi yang ada. 'Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo kesusu, ojo grusa grusu, ojo melu melu lan ojo dumeh', kunci sederhana yang diajarkan leluhur Nusantara, yaitu 'jangan mudah terkejut, jangan mudah terkagum kagum, jangan tergesa, jangan gegabah, jangan ikut ikutan dan jangan sok sok an'' Biarlah semesta membimbing manusia muda dengan caranya sendiri.
Salam waras.
Mino, 26 Desember 2023
Rahayu. Rahayu, Rahayu
Kusumo Pawiro Danu Atmojo Jayadiningrat